Kemiskinan Membuat Mereka Jual Diri
Amel, 25, tak pernah menyangka bakal menjadi pemijat plus-plus. Saat
pertama kali menjadi pemijat, ia hanya melayani pijat biasa. Hampir dua
bulan ia bertahan, selalu menolak jika ada tamu yang menginginkan
layanan lebih.
Namun menginjak bulan ketiga imannya goyah. Kebutuhan hidupnya tak
lagi terpenuhi jika hanya mengandalkan komisi Rp15 ribu per jam yang ia
terima dari pijatan biasa. Apalagi ia harus mengirim uang ke kampung,
untuk orang tua dan dua adiknya yang sekolah di Jawa.
Teman-temannya sesama pemijat juga merayunya untuk memberikan layanan
seks. “Awalnya ragu, tapi setelah saya coba, ternyata hasilnya lebih
besar dari perkiraan saya. Kalau lagi ramai, dalam semalam saya bisa
dapat Rp500 ribu,” tukasnya.
Kepada orang tuanya di kampung, Amel mengaku kerja di pabrik. Itu ia
lakukan agar pekerjannya tak ketahuan. “Kalau ketahuan bisa gawat,”
tuturnya.
Amel awalnya bekerja sebagai TKW di Malaysia. Tahun 2007 silam,
berbekal ijazah SMP ia berangkat ke negeri jiran itu sebagai pembantu
rumah tangga. Setahun di Malaysia, ia berkenalan dengan seorang pria
asal Flores. “Kami kemudian menikah dan punya satu anak,” katanya.
Amel dan suaminya kemudian mengadu nasib di Batam. Di sini mereka
tinggal di Batubesar Nongsa. Suami Amel kerja di galangan kapal, Amel
tinggal di rumah menjaga anak semata wayangnya. Dua tahun menikah,
prahara menimpa keluarga Amel. Suaminya menuduhnya berselingkuh dengan
pria lain. “Dia pergi ke Flores membawa putriku. Sampai ini hari nggak
ada kabarnya,” tuturnya.
Sejak ditinggal suaminya, ia hidup tak tentu arah. “Saya pernah kerja
di pub tapi gak betah,” katanya. Hingga kemudian kawannya
memperkenalkan Amel ke seorang pengelola panti pijat. Amel diberi kursus
pijat selama dua bulan.
Sekarang Amel tak lagi malu-malu. Setiap memijat tamu ia selalu
menawarkan layanan seks. Jika tamunya bersikap dingin, ia tak
sungkan-sungkan melepas pakaiannya. “Kalau sudah begitu, masak tak mau,”
katanya tersenyum.
Lain lagi dengan Susi, 23. Wanita asal Malang, Jawa Timur itu tergiur
menjadi pemijat karena ajakan teman-temannya di kampung yang terlebih
dulu menjadi pemijat di Batam. Tiap bulan, temannya itu mengirimkan
banyak uang ke keluarganya.
“Kalau pulang kawanku itu selalu bawa uang banyak, pakai perhiasan, bajunya bagus-bagus,” ujarnya.
Mantap dengan pilihannya itu, Susi berangkat ke Batam. Seluruh biaya
perjalanan dari kampung ke Batam ditanggung pemilik panti pijat. Susi
baru diminta mengganti biaya perjalanan setelah aktif bekerja. Pemilik
panti langsung memotong komisi Susi.
Di Batam, Susi dilatih cara memijat selama satu bulan. Selepas itu,
ia langsung bekerja. Awalnya, seperti Amel, Susi hanya mememberi pijatan
biasa pada tamunya. Hingga kemudian, ada tamu yang protes karena Susi
enggan memberi pijatan plus.
Oleh kawannya, Susi akhirnya diberitahu kalau panti pijat tempat
mereka bekerja adalah panti pijat plus yang memberi layanan seks.
Susipun diajari bagaimana cara menawarkan seks kepada para tamunya.
Misalnya dengan memijat pada bagian-bagian sensitif agar tamunya itu
terangsang.
Penghasilan dari layanan seks itu dirasakan Susi lebih tinggi
daripada komisinya jika hanya memijat biasa. Kalau pijat biasa Susi
hanya mendapatkan Rp15 ribu hingga Rp20 ribu per jam, jika memberi
layanan seks, Susi bisa mendapatkan Rp300 ribu per tamu.
“Kalau tidak seperti ini, darimana saya bisa ngirim duit orangtua,” ujar Susi.
Monik, 24, wanita asal Subang, Jawa Barat, juga sudah tak perawan
lagi saat memutuskan menjadi tukang pijat di Batam. Ia terjebak
pergaulan bebas. Selama berpacaran dengan ia berkali-kali berhubungan
badan.
Namun ia kecewa setelah pacarnya juga berhubungan dengan wanita lain. “Sejak itu saya kesal dan langsung pergi,” katanya.
Batam menjadi tujuan Monic. Ia tak menolak ketika ditawari menjadi
pemijat plus. Masa depannya yang ia anggap suram, kecewa dengan pacar,
dan kondisi ekonomi keluarganya di kampung membuat ia nekat. “Tiap bulan
saya kirim uang ke kampung,” tandasnya. Kepada orang tuanya, Monic
mengaku menjadi pelayan di sebuah rumah makan.
Yessi, 22, juga nekat menjadi pemijat plus dengan latar belakang yang
sama: dinodai pacarnya di kampung. Gadis berkulit putih dari Subang itu
mengaku ingin membuang rasa trauma.
Apalagi, katanya, kondisi ekonomi orang tuanya memprihatinkan.
Bapaknya kerja serabutan, ibunya buruh cuci. “Dua adikku, satu di SD,
satu lagi di SMP, harus saya biayai,” tuturnya.
Toh, Yessi menikmati pekerjaannya. Di panti, ia merasa bebas. Para
pemijatnya dibiarkan, tanpa kekangan. Bebas menelepon, bebas
jalan-jalan. “Saya tidak tinggal di sini. Saya bebas kemana saja,”
ujarnya.
Iwel, 22, malah sudah bercita-cita ingin jadi pengusaha jika sudah
tak lagi jadi pemijat. Ia ingin buka butik di Jawa Barat. “Saya sekarang
sedang ngumpulin duit buat buka usaha,” katanya.
Meski menjadi pemijat plus, Iwel ternyata punya kekasih. Ada cincin
tunangan di jari manisnya. “Tunanganku itu sudah tahu kalau kerjaku
beginian. Kami malah ketemunya di sini,” katanya. Tunangan Iwel ternyata
tamu yang pernah dilayaninya.
Soal dosa, kata Iwel, itu urusan pribadi. “Apa ada orang memberikan
uang tanpa mengharapkan sesuatu? Apa ada orang yang peduli sama
kesusahan yang kita alami?".
Sumber
Sabtu, 02 Juni 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Translate my Blog
by : BTF
0 komentar:
Posting Komentar