Jika Ada Gadis di Sofa, Itu Plus-Plus
Alunan house music memekakkan telinga begitu masuk ke dalam PI Massage & Spa di kawasan Nagoya, Minggu (6/3) malam. Suasana ruangan pengap penuh asap rokok, cahayanya remang-remang. Lampu disko berputar-putar, membuat suasana panti itu mirip bar. Warna biru yang mendominasi dinding ruangan terlihat samar. Ada sertifikat berpigura ditempel di dinding, tanda kalau panti pijat itu memiliki izin resmi.
Baru saja Batam Pos membiasakan mata dengan kondisi di dalam ruangan, seorang pria warga Tionghoa menyambut. “Selamat datang Bos-bos kami ini. Kami merasa terhormat, Bos mau singgah di tempat kami. Kami tahu apa yang Bos-bos inginkan. Pastinya ladies-ladies kami akan men-servis Bos sampai puas,” katanya.
Belum sempat dijawab, pria itu kembali berbicara. Ia terampil, bak penjual berpengalaman. Panti pijatnya, katanya, menyediakan layanan plus. “Ladies-ladies kami muda-muda, di bawah 30 tahun. Silakan pilih,” katanya. A Chui, begitu pria itu dipanggil, menawarkan minuman.
Gadis-gadis yang ditawarkan A Chui sudah duduk di sofa abu-abu yang dipasang memanjang ke samping. Jumlahnya sekitar tujuh orang. Pakaian mereka serba minim, ketat dari paha sampai atas. Baju yang mereka kenakan hanya dikancing bagian tengah. Bagian atasnya dibiarkan terbuka. Bak menantang para tamu, mereka duduk sambil menyilangkan kaki, memperlihatkan pahanya yang mulus.
“Abang sayang, sini dong duduk di pelukan Aku. Tak rugilah, dijamin asyik lo.” Seorang gadis yang duduk di tengah menggoda, melambaikan tangannya.
A Chui bangkit mengajak masuk ke dalam, melewati deretan para gadis tadi. “Yang tadi itu tarifnya Rp150 ribu per jam. Kalau mau yang lebih bagus, di dalam ada. Dijamin barang bagus. Ada yang Rp200 ribu, paling tinggi Rp250 ribu,” kata A Chui.
Di dalam, para gadis lain duduk melingkar di sofa berbentuk huruf U. Paras mereka lebih cantik. Namun dandanannya cukup sopan. Rata-rata mengenakan celana panjang dan t-shirt. Lampu berdaya 5 watt menerangi ruangan. “Duduk sini ajalah, Bang. Kalau di depan kurang asyik, di sini dijamin Abang pasti suka,” ujar mereka.
memilih gadis yang duduk di ujung sofa Yessi, 22, namanya. Gadis itu berkulit kuning, berambut panjang dengan tahi lalat di atas bibirnya. “Abang langsung ke kasir aja. Baru kita naik ke atas ya,” ujarnya seraya berdiri mengantar ke meja kasir.
Tarif Rp200 ribu per jam harus dibayar di muka. Di depan kasir, Yessi masih minta dibelikan sebungkus rokok filter dan sekaleng soft drink. Begitu dibayar, Yessi langsung mengajak naik ke lantai dua. Di sini, suasananya juga remang-remang.
Sekitar 20 kamar berderet di kanan kiri. Rata-rata berukuran 3 x 2 meter. Di depan kamar terpampang tulisan besar-besar yang menyala dihiasi lampu warna merah bertuliskan, “Dilarang Berbuat Asusila”. Ternyata setiap kamar sudah ada pemiliknya. Yessi misalnya, menguasai kamar di paling ujung.
Usai menunjukkan kamarnya, Yessi menghilang. Kamar Yessi bersih dan wangi. Selain dilengkapi tempat tidur, di dalamnya juga terdapat kamar mandi. Aroma wewangian menusuk hidung, benar-benar tempat yang pas melepas kepenatan.
Yessi masuk kamar lima menit kemudian. Ternyata ia berganti pakaian. Celana panjang dibalut t-shirt yang tadi dikenakannya sudah dilepas, berganti daster tipis yang panjangnya selutut. Di balik daster, Yessi tak mengenakan apa-apa. Sepuluh menit memijat, Yessi melepas dasternya. Praktis, selama 50 menit Yessi memijat sambil telanjang bulat.
Yessi tak hanya melayani pemijatan di dalam panti. Tamu yang ingin membawa Yessi keluar bisa mem-booking dengan tarif Rp750 ribu. Itu diluar biaya hotel atau makan-minum yang diminta Yessi. Dari tarif Rp750 ribu itu, Yessi mendapat bagian Rp400 ribu. Sisanya menjadi milik panti pijat.
Pemandangan yang sama juga terlihat di salah satu panti pijat di kawasan pasar Siang Malam, Nagoya. Di panti pijat yang menempati ruko tiga lantai berjubel puluhan wanita berpakaian minim. Mereka duduk rapat di sofa di ruangan berukuran 6x 6 meter. Sebagian dari mereka tampak bersolek. Ada yang berkaca di cermin kecil miliknya, ada yang memoles lipstik di bibir. Beberapa di antaranya mempermainkan asap rokok putih ke langit-langit ruangan.
Beberapa pria, umurnya di atas 30-an tahun duduk memandangi wanita-wanita itu. Kepada mereka itulah pekerja panti menawarkan wanita pemijat. Tarifnya lebih murah, Rp150 ribu per 1,5 jam. Tarif itu sudah termasuk layanan seks-nya. “Tinggal pilih mau yang mana,” ujar seorang pekerja.
Tarif membawa gadis pemijat keluar Rp600 ribu untuk sekali kencan dan Rp1 juta untuk longtime. Dari tarif sebesar itu, gadis-gadis itu mendapat komisi 30 persen. “Ada pembukuan tiap hari, jadi kami tahu berapa pendapatan sebulannya dari komisi 30 persen itu,” tandasnya.
Ia mengaku bertahan hidup dengan kebaikan tamu yang selalu memberinya uang tips. Uang tips ini menurut dia lebih besar dari komisi per bulannya. “Kalau sehari dapat dua tamu berarti bisa dapat Rp100 ribu. Tapi tergantung, ada tamu yang bisa kasih lebih ada juga yang tidak sama sekali,” ujarnya.
Jika di dua panti pijat itu tamu langsung dapat layanan seks, di sejumlah tempat lain yang didatangi Batam Pos, tamu baru mendapatkan layanan seks jika sukses bertransaksi dengan pemijatnya. Biasanya, panti pijat seperti itu mengenakan tarif Rp60 ribu per 1,5 jam kepada tamunya. Jika ingin mendapatkan layanan seks, tamu harus tawar-menawar dengan pemijatnya. Tarifnya beragam, tergantung kepintaran tamu menawar. Paling murah Rp100 ribu, paling mahal Rp500 ribu.
Di S Massage yang mengenakan tarif Rp60 ribu per 1,5 jam misalnya, pemijatnya mengenakan pakaian lengkap saat memijat. Tawaran seks baru datang setelah pemijatan berlansung 30 menit. Monic, 24, pemijat di S Massage, memberi tanda dengan menggesek-gesekkan ibu jari dan telunjuknya di betis. Tarifnya? “Rp300 aja,” katanya.
Jika tamu setuju dengan tawaran itu, barulah Monic bersedia melepas celana pendeknya. Namun tamu yang keberatan membayar Rp300 ribu, bisa juga mendapatkan layanan seks jika pintar merayu Monic. Semuanya tergantung kepintaran menawar. Karena uang transaksi di dalam kamar, semuanya masuk kantong pemijat.
Wanita-wanita pemijat punya trik khusus agar tamunya mau menerima layanan seks mereka. Amel, 25, pemijat di C Massage di Sagulung, melepas handuknya jika tamu yang dipijatnya tak kunjung meminta layanan lebih. Biasanya, Amel memijat dengan hanya melilitkan handuk tipis di tubuhnya.
Amel pun memijat dengan hanya mengenakan handuk. Selama pemijatan ia menawarkan layanan seks. Karena tak kunjung diiyakan, Amel melepas handuknya. “Kalau sudah tak pakai apapun, masak masih tak mau,” katanya sambil tersenyum.
Amel memasang tarif Rp150 ribu untuk layanan seks. Namun tarif itu masih bisa ditawar, tergantung kepintaran tamu tadi. Sabtu malam itu, Amel menurunkan tarifnya jadi Rp100 ribu.
Menurut Amel, tak gampang mendapatkan tamu untuk layanan seks. Ketatnya persaingan membuat para wanita pemijat harus pandai-pandai memberi pelayanan. Apalagi, panti pijat-panti pijat yang memberi layanan seks jumlahnya sangat banyak, lebih dari 100 panti.
Namun ada juga pemijat yang bersikukuh tak mau memberi layanan seks jika tarifnya tak sesuai. Iwel, 20, pemijat di T Spa & Massage di kawasan Seraya, misalnya. Ia mematok tarif Rp500 ribu. Dirayu berkali-kali ia tak menurunkan tarif. Batam Pos awalnya menawari Rp100 ribu, lalu naik Rp250 ribu. Namun dengan enteng ia menjawab, “Buat bedak saja tidak cukup,” katanya.
Iwel mengaku, tarif Rp500 ribu yang ia patok sebanding dengan wajah dan tubuhnya yang molek. Ia mengaku masih muda, dan belum pernah punya suami, apalagi punya anak. “Aku tidak virgin lagi, tapi dijamin masih sempit,” katanya menggoda.
Rudianto, 30, sebut saja begitu, mantan pencari klien untuk sejumlah panti pijat di Batam, yang mengantar Batam Pos keliling panti pijat, mengatakan hampir 98 persen panti pijat di Batam menawarkan layanan seks. “Kalau ada 100 panti, mungkin hanya dua yang murni pijat kesehatan,” katanya.
Dulu, katanya, ia sering membawa para ekspatriat ke panti pijat-panti pijat. Jika berhasil membawa mereka, ia mendapatkan komisi. “Delapan tahun saya jadi calo, sekarang sudah berhenti,” tuturnya.
Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Batam mencatat hanya 77 panti pijat yang terdaftar di Batam. Kawasan paling berkembang pesat setelah Nagoya adalah Batuaji dan Sagulung. Di Batuaji dan Sagulung, ada sepuluh panti pijat.
Berdasarkan UU Nomor 10 Tahun 2009 , panti pijat termasuk dalam kategori pariwisata di bidang spa dan kebugaran. Sebelumnya, Pemerintah Kota Batam telah menetapkan status panti pijat dalam Perda Nomor 17 Tahun 2001 yang menyatakan penyelenggaraan jasa usaha sarana pariwisata, masuk dalam kategori pengusahaan jasa rekreasi dan hiburan khusus bagi wisatawan.
“Objek Perda itu diperuntukkan ke situ. Dasar hukumnya jelas, dimana Dispar memberi fasilitas memberi kenyamanan pada para wisatawan,” ujar Rudi.
Ditanya soal maraknya panti pijat yang memberi layanan seks, Rudi mengatakan, itu merupakan sesuatu yang sulit dihilangkan. “Namun, kami merespon dengan memperketat pengawasan dengan melibatkan beberapa instansi seperti Bina mitra Polda Kepri dan Satpol PP untuk turun ke lapangan. Panti pijat nakal akan kami tindak,” kata Rudi.
Jika ketahuan, kata Rudi, Dinas Pariwisata akan mengirimkan surat teguran sebanyak tiga kali. “Kalau bandel, izinnya akan dicabut dan dilarang beroperasi.”
Ketua Asosiasi Jasa Hiburan Barelang (Ajahib) Gembira Ginting mengatakan, ada lebih dari 390 pusat hiburan dan panti pijat di Batam. Namun hanya 30 persen yang bergabung dalam Ajahib, dan sebagian besar juga belum mempunyai izin dari pemerintah.
“Ini yang menjadi pembahasan kami, masih banyak di lapangan yang belum terdata dan mendapat izin. Buka usaha ‘kucing-kucingan’, dan tidak terdaftar pula di Ajahib,” katanya.
Ginting meminta pemerintah dan instansi terkait bertindak tegas. “Mari bersatu menyelesaikan ini semua. Apakah mereka ada beking dari aparat, ini yang akan kita tahu. Jangan nanti ada kasus traficking untuk dijadikan pekerja terapi vulgar, kita juga yang terseret. Padahal mereka tidak masuk dalam keanggotaan kami,”
Sumber
Alunan house music memekakkan telinga begitu masuk ke dalam PI Massage & Spa di kawasan Nagoya, Minggu (6/3) malam. Suasana ruangan pengap penuh asap rokok, cahayanya remang-remang. Lampu disko berputar-putar, membuat suasana panti itu mirip bar. Warna biru yang mendominasi dinding ruangan terlihat samar. Ada sertifikat berpigura ditempel di dinding, tanda kalau panti pijat itu memiliki izin resmi.
Baru saja Batam Pos membiasakan mata dengan kondisi di dalam ruangan, seorang pria warga Tionghoa menyambut. “Selamat datang Bos-bos kami ini. Kami merasa terhormat, Bos mau singgah di tempat kami. Kami tahu apa yang Bos-bos inginkan. Pastinya ladies-ladies kami akan men-servis Bos sampai puas,” katanya.
Belum sempat dijawab, pria itu kembali berbicara. Ia terampil, bak penjual berpengalaman. Panti pijatnya, katanya, menyediakan layanan plus. “Ladies-ladies kami muda-muda, di bawah 30 tahun. Silakan pilih,” katanya. A Chui, begitu pria itu dipanggil, menawarkan minuman.
Gadis-gadis yang ditawarkan A Chui sudah duduk di sofa abu-abu yang dipasang memanjang ke samping. Jumlahnya sekitar tujuh orang. Pakaian mereka serba minim, ketat dari paha sampai atas. Baju yang mereka kenakan hanya dikancing bagian tengah. Bagian atasnya dibiarkan terbuka. Bak menantang para tamu, mereka duduk sambil menyilangkan kaki, memperlihatkan pahanya yang mulus.
“Abang sayang, sini dong duduk di pelukan Aku. Tak rugilah, dijamin asyik lo.” Seorang gadis yang duduk di tengah menggoda, melambaikan tangannya.
A Chui bangkit mengajak masuk ke dalam, melewati deretan para gadis tadi. “Yang tadi itu tarifnya Rp150 ribu per jam. Kalau mau yang lebih bagus, di dalam ada. Dijamin barang bagus. Ada yang Rp200 ribu, paling tinggi Rp250 ribu,” kata A Chui.
Di dalam, para gadis lain duduk melingkar di sofa berbentuk huruf U. Paras mereka lebih cantik. Namun dandanannya cukup sopan. Rata-rata mengenakan celana panjang dan t-shirt. Lampu berdaya 5 watt menerangi ruangan. “Duduk sini ajalah, Bang. Kalau di depan kurang asyik, di sini dijamin Abang pasti suka,” ujar mereka.
memilih gadis yang duduk di ujung sofa Yessi, 22, namanya. Gadis itu berkulit kuning, berambut panjang dengan tahi lalat di atas bibirnya. “Abang langsung ke kasir aja. Baru kita naik ke atas ya,” ujarnya seraya berdiri mengantar ke meja kasir.
Tarif Rp200 ribu per jam harus dibayar di muka. Di depan kasir, Yessi masih minta dibelikan sebungkus rokok filter dan sekaleng soft drink. Begitu dibayar, Yessi langsung mengajak naik ke lantai dua. Di sini, suasananya juga remang-remang.
Sekitar 20 kamar berderet di kanan kiri. Rata-rata berukuran 3 x 2 meter. Di depan kamar terpampang tulisan besar-besar yang menyala dihiasi lampu warna merah bertuliskan, “Dilarang Berbuat Asusila”. Ternyata setiap kamar sudah ada pemiliknya. Yessi misalnya, menguasai kamar di paling ujung.
Usai menunjukkan kamarnya, Yessi menghilang. Kamar Yessi bersih dan wangi. Selain dilengkapi tempat tidur, di dalamnya juga terdapat kamar mandi. Aroma wewangian menusuk hidung, benar-benar tempat yang pas melepas kepenatan.
Yessi masuk kamar lima menit kemudian. Ternyata ia berganti pakaian. Celana panjang dibalut t-shirt yang tadi dikenakannya sudah dilepas, berganti daster tipis yang panjangnya selutut. Di balik daster, Yessi tak mengenakan apa-apa. Sepuluh menit memijat, Yessi melepas dasternya. Praktis, selama 50 menit Yessi memijat sambil telanjang bulat.
Yessi tak hanya melayani pemijatan di dalam panti. Tamu yang ingin membawa Yessi keluar bisa mem-booking dengan tarif Rp750 ribu. Itu diluar biaya hotel atau makan-minum yang diminta Yessi. Dari tarif Rp750 ribu itu, Yessi mendapat bagian Rp400 ribu. Sisanya menjadi milik panti pijat.
Pemandangan yang sama juga terlihat di salah satu panti pijat di kawasan pasar Siang Malam, Nagoya. Di panti pijat yang menempati ruko tiga lantai berjubel puluhan wanita berpakaian minim. Mereka duduk rapat di sofa di ruangan berukuran 6x 6 meter. Sebagian dari mereka tampak bersolek. Ada yang berkaca di cermin kecil miliknya, ada yang memoles lipstik di bibir. Beberapa di antaranya mempermainkan asap rokok putih ke langit-langit ruangan.
Beberapa pria, umurnya di atas 30-an tahun duduk memandangi wanita-wanita itu. Kepada mereka itulah pekerja panti menawarkan wanita pemijat. Tarifnya lebih murah, Rp150 ribu per 1,5 jam. Tarif itu sudah termasuk layanan seks-nya. “Tinggal pilih mau yang mana,” ujar seorang pekerja.
Tarif membawa gadis pemijat keluar Rp600 ribu untuk sekali kencan dan Rp1 juta untuk longtime. Dari tarif sebesar itu, gadis-gadis itu mendapat komisi 30 persen. “Ada pembukuan tiap hari, jadi kami tahu berapa pendapatan sebulannya dari komisi 30 persen itu,” tandasnya.
Ia mengaku bertahan hidup dengan kebaikan tamu yang selalu memberinya uang tips. Uang tips ini menurut dia lebih besar dari komisi per bulannya. “Kalau sehari dapat dua tamu berarti bisa dapat Rp100 ribu. Tapi tergantung, ada tamu yang bisa kasih lebih ada juga yang tidak sama sekali,” ujarnya.
Jika di dua panti pijat itu tamu langsung dapat layanan seks, di sejumlah tempat lain yang didatangi Batam Pos, tamu baru mendapatkan layanan seks jika sukses bertransaksi dengan pemijatnya. Biasanya, panti pijat seperti itu mengenakan tarif Rp60 ribu per 1,5 jam kepada tamunya. Jika ingin mendapatkan layanan seks, tamu harus tawar-menawar dengan pemijatnya. Tarifnya beragam, tergantung kepintaran tamu menawar. Paling murah Rp100 ribu, paling mahal Rp500 ribu.
Di S Massage yang mengenakan tarif Rp60 ribu per 1,5 jam misalnya, pemijatnya mengenakan pakaian lengkap saat memijat. Tawaran seks baru datang setelah pemijatan berlansung 30 menit. Monic, 24, pemijat di S Massage, memberi tanda dengan menggesek-gesekkan ibu jari dan telunjuknya di betis. Tarifnya? “Rp300 aja,” katanya.
Jika tamu setuju dengan tawaran itu, barulah Monic bersedia melepas celana pendeknya. Namun tamu yang keberatan membayar Rp300 ribu, bisa juga mendapatkan layanan seks jika pintar merayu Monic. Semuanya tergantung kepintaran menawar. Karena uang transaksi di dalam kamar, semuanya masuk kantong pemijat.
Wanita-wanita pemijat punya trik khusus agar tamunya mau menerima layanan seks mereka. Amel, 25, pemijat di C Massage di Sagulung, melepas handuknya jika tamu yang dipijatnya tak kunjung meminta layanan lebih. Biasanya, Amel memijat dengan hanya melilitkan handuk tipis di tubuhnya.
Amel pun memijat dengan hanya mengenakan handuk. Selama pemijatan ia menawarkan layanan seks. Karena tak kunjung diiyakan, Amel melepas handuknya. “Kalau sudah tak pakai apapun, masak masih tak mau,” katanya sambil tersenyum.
Amel memasang tarif Rp150 ribu untuk layanan seks. Namun tarif itu masih bisa ditawar, tergantung kepintaran tamu tadi. Sabtu malam itu, Amel menurunkan tarifnya jadi Rp100 ribu.
Menurut Amel, tak gampang mendapatkan tamu untuk layanan seks. Ketatnya persaingan membuat para wanita pemijat harus pandai-pandai memberi pelayanan. Apalagi, panti pijat-panti pijat yang memberi layanan seks jumlahnya sangat banyak, lebih dari 100 panti.
Namun ada juga pemijat yang bersikukuh tak mau memberi layanan seks jika tarifnya tak sesuai. Iwel, 20, pemijat di T Spa & Massage di kawasan Seraya, misalnya. Ia mematok tarif Rp500 ribu. Dirayu berkali-kali ia tak menurunkan tarif. Batam Pos awalnya menawari Rp100 ribu, lalu naik Rp250 ribu. Namun dengan enteng ia menjawab, “Buat bedak saja tidak cukup,” katanya.
Iwel mengaku, tarif Rp500 ribu yang ia patok sebanding dengan wajah dan tubuhnya yang molek. Ia mengaku masih muda, dan belum pernah punya suami, apalagi punya anak. “Aku tidak virgin lagi, tapi dijamin masih sempit,” katanya menggoda.
Rudianto, 30, sebut saja begitu, mantan pencari klien untuk sejumlah panti pijat di Batam, yang mengantar Batam Pos keliling panti pijat, mengatakan hampir 98 persen panti pijat di Batam menawarkan layanan seks. “Kalau ada 100 panti, mungkin hanya dua yang murni pijat kesehatan,” katanya.
Dulu, katanya, ia sering membawa para ekspatriat ke panti pijat-panti pijat. Jika berhasil membawa mereka, ia mendapatkan komisi. “Delapan tahun saya jadi calo, sekarang sudah berhenti,” tuturnya.
Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Batam mencatat hanya 77 panti pijat yang terdaftar di Batam. Kawasan paling berkembang pesat setelah Nagoya adalah Batuaji dan Sagulung. Di Batuaji dan Sagulung, ada sepuluh panti pijat.
Berdasarkan UU Nomor 10 Tahun 2009 , panti pijat termasuk dalam kategori pariwisata di bidang spa dan kebugaran. Sebelumnya, Pemerintah Kota Batam telah menetapkan status panti pijat dalam Perda Nomor 17 Tahun 2001 yang menyatakan penyelenggaraan jasa usaha sarana pariwisata, masuk dalam kategori pengusahaan jasa rekreasi dan hiburan khusus bagi wisatawan.
“Objek Perda itu diperuntukkan ke situ. Dasar hukumnya jelas, dimana Dispar memberi fasilitas memberi kenyamanan pada para wisatawan,” ujar Rudi.
Ditanya soal maraknya panti pijat yang memberi layanan seks, Rudi mengatakan, itu merupakan sesuatu yang sulit dihilangkan. “Namun, kami merespon dengan memperketat pengawasan dengan melibatkan beberapa instansi seperti Bina mitra Polda Kepri dan Satpol PP untuk turun ke lapangan. Panti pijat nakal akan kami tindak,” kata Rudi.
Jika ketahuan, kata Rudi, Dinas Pariwisata akan mengirimkan surat teguran sebanyak tiga kali. “Kalau bandel, izinnya akan dicabut dan dilarang beroperasi.”
Ketua Asosiasi Jasa Hiburan Barelang (Ajahib) Gembira Ginting mengatakan, ada lebih dari 390 pusat hiburan dan panti pijat di Batam. Namun hanya 30 persen yang bergabung dalam Ajahib, dan sebagian besar juga belum mempunyai izin dari pemerintah.
“Ini yang menjadi pembahasan kami, masih banyak di lapangan yang belum terdata dan mendapat izin. Buka usaha ‘kucing-kucingan’, dan tidak terdaftar pula di Ajahib,” katanya.
Ginting meminta pemerintah dan instansi terkait bertindak tegas. “Mari bersatu menyelesaikan ini semua. Apakah mereka ada beking dari aparat, ini yang akan kita tahu. Jangan nanti ada kasus traficking untuk dijadikan pekerja terapi vulgar, kita juga yang terseret. Padahal mereka tidak masuk dalam keanggotaan kami,”
Sumber
0 komentar:
Posting Komentar